Lingga berat hati berangkat ke sekolah. Ini hari keduanya di sekolah yang baru. Kemarin ia habis diolok teman-temannya. Lingga memang kurang lancar mengucapkan kata. Misalnya, kata ‘saya’ menjadi ‘sssaaya” atau kata ‘jalan’ menjadi ‘jjjjjjalan”. Teman-teman sekelasnya tak bosan menertawakan dan main-main menirukan gaya bicaranya. Ia tampak lega setelah berhasil mengucapkan kata-kata tersebut, tanpa beban rasanya.
Ya, Lingga memang gagap. Kondisi gagap bervariasi dalam dimensi taraf yang ringan sampai besar. Lingga kesulitan mengucapkan suara huruf awal (b, d, s, t) dari kata-kata tertentu. Gagapnya Lingga juga sering diikuti gerakan berulang bagian tubuh yang tidak mampu ia kendalikan. Misalnya, gerak-gerak kecil pada bagian punggung yang berulang tanpa kendali. Gerakan ini sebenarnya merupakan representasi perjuangan internal yang berat untuk dapat berbicara lancar.
Gagap yang berat pun akan terjadi jika ia harus berbiacara di hadapan orang-orang yang ia pikir memiliki kelebihan daripada dirinya. Frekuensi gagap akan lebih sering jika ia merasa malu, rendah diri, atau terlalu menyadari kondisi dirinya.
Ada yang berpendapat bahwa gagap adalah penyakit genetic. Ada pula yang berpendapat bahwa terdapat gangguan saraf yang menyebabkan gangguan koordinasi dari fungsi motorik untuk bicara. Gangguan ini bisa saja disebabkan oleh luka otak sebagai hasil kesulitasn saat dilahirkan. Atau banyak anak-anak yang kemudian menjadi gagap setelah menderita infeksi yang serius. Pada saat tsb, terjadilah proses penuruan kekuatan fungsi saraf secara menyeluruh.
Gagap juga dapat berkembang jika anak-anak kidal dipaksa untuk menggunakan tangan kanan dalam melakukan aktivitas tertentu, seperti menulis. Pemaksaan tersebut berpengaruh terhadap konflik emosional dan anak menjadi tertekan yang kemudian menimbulkan efek gangguan bicara. Intinya, gagap adalah representasi kondisi ketidakmatangan emosi seseorang.
Ada beberapa solusi untuk Lingga dan penderita gagap lainnya. Sebaiknya, anak-anak penderita gagap ini dihindarkan dari situasi lingkungan yang menekan. Dalam kasus Lingga, sebaiknya ia diyakinkan bahwa ia gagap hanya karena ditertawakan teman-temannya dan main gagap-gagapan. Dampaknya, ia bisa menjadi malu dan tidak percaya diri. Hukuman fisik akan meningkarkan ketegangan emosinya sehingga gagapnya akan berkelanjutan. Ibu, sebagai agen sosialisasi utama bagi anak diharapkan untuk membuat anak tidak ketakutan jika diserang gagap.
Untuk penderita gagap yang sudah memasuki tahap perkembangan dewasa awal, perawatannya lebih difokuskan kepada proses penguatan fungsi kepribadian dan pemantapan rasa aman secara emosional. Misalnya, diberikan pelatihan berbiacara dengan menggunakan kata-kata yang diawali huruf s, b, d, t dengan benar. Menggunakan pola bicara yang baik juga dapat membantu, meskipun pada penderita dewasa memerlukan waktu yang lama. Atau, penderita bisa menggunakan jasa psikolog atau psikiater untuk melakukan psikoterapi.(Maghriza Novita Syahti/P'Mails edisi Juli 2008)
Sumber bacaan :
Sadarjoen, Sawitri Supardi. 2005. Pernak-Pernik Hubungan Orangtua-Remaja Anak Beringkah Orangtua Mengekang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas